Selasa, 12 Juli 2011

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Dari awal hingga akhir, al-Qur’an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur’an yufassir-u ba’dhuhu ba’dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya([2]). Dalam al-Qur’an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab([3]) yang sudah mempunyai kekuatan hokum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.

Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal “interpretasi historis.” Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbabun nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur’an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.

B. TOPIK PEMBAHASAN

Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk kita soroti adalah masalah asas, pengertian/batasan, Perbedaan Antara Nasakh, Takhshis Dan Bada’, jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan penggunaan dan hikmah kegunaannya mempelajari nasikh dan mansukh.

BAB II PEMBAHASAN

A. ASAS NASIKH MANSUKH

Andaikan al-Qur’an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling bertentangan([4]). Ungkapan ini sangat penting dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan larangan. Masalah-masalah yang disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.

Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur’an tidak ada kontradiksi (ta’arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta’arudl) yang demikian merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya([5]).

B. PENGERTIAN NASIKH MANSUKH

Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan([6]). Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu. Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar’I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian umum (‘am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.

Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian([7]).

C. PERBEDAAN ANTARA NASAKH, TAKHSHIS DAN BADA’

Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al Ashfahani[8] dalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan adanya pembatalan hokum dalam al quran. Namun dengan tegas, al Ashfahani menyatakan bahwaal quran tidak pernah disentuh “pembatalan”[9] meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:

1. Adanya pengecualian hokum yang bersifat umum oleh hokum yang sefesifik yang datang kemudian;

2. Adanya penjelasn susulan terhadap hokum terdahulu yang ambigius;

3. Adanya penetapan syarat terhadap hokum yang terdahulu yang belum bersyarat.

Ibnu Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai nasakh, sedangkan al Ashfahani memandangnya sebagai takhshis.[10] Tampaknya al Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran terdapat cakupan hokum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad ‘amm”[11]. Bertolak dari pengertian nasakh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:

PERBEDAAN NASKH DAN TAKHSHIS

NASAKH

1. Satuan yang terdapat dalam Nasakh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat dalam Mansukh.

2. Nasakh adalah menghapuskan hokum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.

3. Nasakh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.

4. Nasakh adanya menghapuskan hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
5. Setelah terjadi nasakh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang tedapat dalam mansukh.

TAKSHSIS

1. Satuan yang tedapat dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafadz ‘aam.

2. Takhshis adalah merupakan hokum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘aam.
3. Takhshis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.

4. Takhshis tidak menghapuskan hokum ‘aam sama sekali. Hokum ‘aam tetap berlaku meskipun sudah dikhushuskan.

5. Setelah terjadi Takhshis, sisa satuan yang terdapat pada ‘aam tetap terikat oleh dalil áam.

Adapun Bada’, menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah Azh-Zhuhur ba’da al Khofa’ ( menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah SWT. Surat al Jatsiyah,45:33 : 33. dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya. Arti bada’ yang lain adalah “nasy’ah ra’yin jaded lam yaku maujud” (munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi inipun tersirat dalam firman Allah SWT. Pada surat yusuf,12:35:[12]

Artinya: “kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf, Namun demikian mereka memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah adalah Yusuf; dan orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini.].”

Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya dengan hakikat nasakh. Dalam bada’ , timbulnya hokum yang baru disebabkan oleh ketidak tahuan sang pembuat hokum akan kemungkinan humunculnya hokum baru itu. Ini tentu berbeda dengan nasakh, sebab dalam nasakh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah SWT. Mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum hokum-hukum itu diturunkan kepada manusia.[13]

D. JENIS-JENIS NASKH

Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini ialah adanya naskh antara satu syari’at dengan syari’at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara syari’at Nabi Isa as. dengan syari’at hukum agama Yahudi yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari’at, dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena syari’at-syari’at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari’at Nabi Muhammad saw.

Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari’at itu merupakan salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian suatu pemerintahan/Negara dengan pemerintahan/ negara lainnya. Contohnya, adanya pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hokum dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan pemerintah/negara baru itu.

Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari’at, apakah didalam satu syari’at terjadi juga nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya? Jika kita kembali pada syari’at Islam sendiri, kita akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini.

1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram([14]). Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hokum kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka’at. Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu’amalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang (‘iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun([15]). Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10 hari([16]). Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.

Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari’at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain. Hal seperti ini, jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan undang-undang atau peraturan lain.

Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh antara al-Qur’an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hokum dalam al-Qur’an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Demikian pula adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadits yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi.

Masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur’an dengan Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan masing-masing pihak, mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang kedudukan hirarki al-Qur’an dan Sunnah dalam syari’at itu sendiri. Dalam kaitan hirarki al-Qur’an dan Sunnah, ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hokum lainnya yang lebih rendah tingkatannya.

Demikian pula lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi factor pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada syari’at. Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni). Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas([17]). Ini contoh dari al-Qur’an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hokum ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, “Pernah aku melarang kalian melakukan ziarah kubur. Sekarang lakukanlah!”([18]). Berbeda dengan hal tersebut diatas, nasikh yang bersifat dlimni tidak memuat penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya. Jenis seperti inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari’at.

E. KEDUDUKAN NASKH

Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan techniseterm dengan batasan pengertian yang baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)([19]). Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu interpretasi hukum.

F. HIRARKI PENGGUNAAN NASKH

Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati urutan pertama dalam interpretasi hukum-syari’at? Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari’at, baik al-Qur’an maupun Hadits setiap ketentuan hukum itu harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan, supaya kepastian hukumnya terjamin. Semua segi yang dapat memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam hal ini harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam’) atau memperkuat salah satu diantaranya (tarjih). Baik upaya jam’ maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah baku dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.

Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi antara dua ketentuan hukum itu juga sudah teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut. Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari suatu upaya interpretasi([20]).

G. KAWASAN PENGGUNAAN NASKH

Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam syari’at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah berdusta([21]). Sejalan dengan ini Imam Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara ayat-ayat al-Qur’an yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi nasikh-mansukh.

Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum. Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum dapat kita lihat gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya Undangundang Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:

1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (Mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.

3. Ketentuan hukum yang mencabut (Nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.

4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.

H. HIKMAH ADANYA NASKH

Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur’an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur’an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan,([22]) khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama.

Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya.

Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari’at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari’at-syari’at agama lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?([23])

Syari’at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari’at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan
al-Qur’an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur’an yufassir-u ba’dhuhu ba’dha. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan

2. Ibn Katsir, Tafsir-u ‘l-Qur’an-i ‘l-’Azhim

3. Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh

4. Al-Thusi, Uddat al-Ushul

5. ‘Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah

6. Shihab, Op.cit.,:144

7. Al Zarqani, Op.cit.,:80

8. Subhi ash Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.

Selasa, 23 November 2010

MAKALAH PSIKOLOGY PERKEMBANGAN

PERKEMBANGAN DAN TINGKAH LAKU SOSIAL ANAK

 

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah

Psikologi Perkembangan

 

Dosen :

Bapak Drs. Dasep Hanan Mubarok M.Ag, S. Ag.

 

 

 

 

 

Oleh Kelompok III

Eki Agustin

Eri Sobariah

Fenni Finawati

 

Sekolah Tinggi Agama Islam Sukabumi (STAIS)

2010 M / 1431 H

KATA PENGANTAR

 

            Puji dan syukur kami panjatkan Kehadirat Illai Rabbi yang talah banyak memberkan kenikmatan kepada kita. Berkat rahmat,taufik, hidayah  dan  inayahnya, kamio dapat menyelesaikan sebuah makalah sebagai salah satu pemenuhan tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan. Shalawat beserta salam semoga tercurah kepada nabi akhirul zaman yakni nabi Muhammad SAW besrta keluarga, sahabat dan para pengikutnya, Amin yaa Rabbal Alamin.

            Selanjutnya kami ucapkan  terima kasih kepada bapak dosen yang telah  memberikan tugas kepada kami sebagai upaya perbaikan atas hasil belajar kami. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah ikut membantu terselesaikannya makalah ini.

            Dalam penulisan  makalah ini, kami telah berupaya semaksimal mungkin untuk menghasilkan suatu  bentuk   makalah yang memenuhi standar, penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran  konstruktif guna sempurnanya makalah ini.

            Akhirnya hanya kepada Allah jualah kami berharap, kami hanya bisa merencanakan dan Allah lah yang menentukan segalanya. Semoga  makalah  ini dapat bermanfaat dan maslahat khususnya bagi kami selaku penyusun dan umumnya bagi para pembaca. Amin.

 

 

 

                                                                                                                                Sukabumi, 23 November 2010

 

Penyusun

 

 

i

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR…..................................................................................................     i

DAFTAR ISI…………....................................................................................................      ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………     1

A.    Latar  Belakang………………………………………………………. ……       1                                                               

B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………..       1                                                   

C.     Tujuan……………………............................................................................       2                                                               

D.    Sistematika Penulisan....................................................................................       2

BAB II PEMBAHASAN

A.    Makna Perkembangan Sosial Anak …………………………………………     3

B.     Bentuk – Bentuk Tingkah  laku Sosial anak…………………………………     4

C.     Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak…………..     6

D.    Pengaruh Perkembangan Sosial terhadap Tingkah Laku Anak……………...     8

E.     Pola Budaya  dan  Prilaku  Sosial  Anak…………………………………….     12

BAB III KOMENTAR  PENULIS………………………………………………………   13

BAB IV KESIMPULAN………………………………………………………………...    14

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………    15

 

 

ii

BAB  I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

              Perkembangan yang terjadi pada anak meliputi segala aspek kehidupan yang mereka jalani baik bersifat fisik maupun non fisik. Perkembanmgan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.

Kesepakatan para ahli menyatakan bahwa :

yang dimaksud dengan perkembangan itu adalah suatu proses perubahan pada seseorang kearah yang lebih maju dan lebih dewasa, naqmun mereka berbeda-beda pendapat tentang bagaimana proses perubahan itu terjadi dalam bentuknya yang hakiki. (Ani Cahyadi, Mubin, 2006 : 21-22).

Beberapa teori perkembangan manusia telah mengungkapkan bahwa manusia telah tumbuh dan berkembang dari masa bayi kemasa dewasa melalui beberapa langkah jenjang. Kehidupan anak dalam menelusuri perkembangnya itu pada dasarnya merupakan kemampuan mereka berinteraksi dengan lingkungan. Pada proses integrasi dan interaksi ini faktor intelektual dan emosional mengambil peranan penting. Proses tersbut merupakan proses sosialisai yang mendudukkan anak-anak sebagai insan yang yang secara aktif melakukan proses sosialisasi

 

B. Rumusan Masalah

               Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah di        dalam makalah ini adalah :

1.  Apa makna perkembangan sosial anak ?

2.  Bagaimana bentuk – bentuk tingkah laku sosial pada anak ?

3.  Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan sosial anak ?

4.  Bagaimana pengaruh perkembangan sosial anak terhadap tingkah laku anak ?

5.  Bagaimana Pola budaya mempengaruhi prilaku social anak?

 

C.     Tujuan Penulisan

           Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1.       mengetahui makna perkembangan sosial anak ;

2.      mengetahui bentuk-bentuk perkembangan sosial anak ;

3.      mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak ;

4.      memahami  pengaruh perkembangan sosial anak terhadap tingkah laku anak ;

5.      mengetahui pola budaya dan prilaku social anak.

 

D.    Sistematika Penulisan

           Makalah ini terdiri dari tiga bagian, yaitu Pertama: Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masala dan sistimatika uraian. Kedua: Isi atau bagian teori dan hasil meliputi ; makna perkembangan sosial anak, bentuk-bentuk perkembangan sosial anak ; faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak dan pengaruh perkembangan sosial terhadap tingkah laku anak.

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Makna Perkembangan Sosial Anak

Perkembangan sosial adalah perubahan dari keadaan penuh ketergantungan menuju kemandirian dalam suasana kedewasaan sosial yang bertanggung jawab. Kadar ketergantungan berkurang sejalan dengan perkembangan kemampuam berbagai aspek kepribadian. Ketergantungan sosial secara relatif berakhir waktu individu mampu mandiri dan berdikari dalam kedewasaannya.

  Hurlock, (1999: 250) menjelaskan bahwa “Perkembangan sosial berarti kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial”. Zulkifli, (1992: 45) mengemukakan bahwa: Perkembangan sosial merupakan interkasi di kalangan manusia; interaksi adalah komunikasi dengan manusia lain, hubungan yang menimbulkan perasaan sosial yaitu perasaan yang mengikatkan individu dengan sesama manusia, perasaan hidup bermasyarakat seperti saling tolong menolong, saling memberi dan menerima, simpati dan antipati, rasa setia kawan, dan sebagainya.

 Syamsu Yusuf (2007) menyatakan bahwa Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagao proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.

Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya. Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain telah dirsakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah (tidak senang mendengar suara keras) dan kasih sayang. Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa :

Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang amat kompleks.

Dari kutipan diatas dapatlah dimengerti bahwa semamin bertambah usia anak maka semakin kompleks perkembangan sosialnya, dalam arti mereka semakin membutuhkan orang lain. Tidak dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mampu hidup sendiri, mereka butuh interaksi dengan manusia lainnya, interaksi sosial merupakan kebutuhan kodrati yang dimiliki oleh manusia.

 

B.     Bentuk – Bentuk Tingkah  laku Sosial Anak

Dalam perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam bentuk-bentuk interkasi sosial diantarannya :

      1. Pembangkangan (Negativisme)

Bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun dan mulai menurun pada usia empat hingga enam tahun.Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap dependent menuju kearah independent.

       2. Agresi (Agression)

Yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi ( rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti ; mencubut, menggigit, menendang dan lain sebagainya.

Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif maka egretifitas anak akan semakin meningkat.

       3. Berselisih (Bertengkar)

Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku    anak    lain.

       4. Menggoda (Teasing)

 Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.

       5. Persaingan (Rivaly)

 Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan prestice dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik.

       7. Tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior)

Yaitu tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap bossiness. Wujud dari sikap ini adalah ; memaksa, meminta, menyuruh, mengancam dan sebagainya.

       

        8. Mementingkan diri sendiri (selffishness)

 Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya

        9. Simpati (Sympaty)

Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya.

 

C. Faktor faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak

             Perkembangan sosial anak dipengaruhi beberapa faktor yaitu :

1.      Keluarga

 Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap  berbagai aspek  perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh keluarga.

2.      Kematangan

Untuk dapat bersosilisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, disamping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.

       3. Status Sosial Ekonomi

Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.

3.      Pendidikan

 Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan sosial anak didalam masyarakat dan kehidupan mereka dimasa yang akan datang.

 

 

            5. Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi

Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.

 

Perkembangan sosial adalah perubahan dari keadaan penuh ketergantungan menuju kemandirian dalam suasana kedewasaan sosial yang bertanggung jawab. Kadar ketergantungan berkurang sejalan dengan perkembangan kemampuam berbagai aspek kepribadian. Ketergantungan sosial secara relatif berakhir waktu individu mampu mandiri dan berdikari dalam kedewasaannya.

Perkembangan sosial anak diawali dengan bermain secara paralel, di mana terlihat anak  bermain seolah-olah bermain dengan temannya namun ternyata asyik dengan permainannya sendiri. Dengan bertambahnya usia, anak sudah mampu mengikatkan diri bermain dengan anak lain dalam kelompok.

Permainan dapat meningkatkan perkembangan sosial anak. Khususnya dalam permainan fantasi dengan memerankan suatu peran, anak belajar memahami orang lain dan peran-peran yang akan ia mainkan di kemudian hari setelah tumbuh menjadi orang dewasa.

Hubungan orangtua dan pengasuhnya merupakan dasar bagi perkembangan sosial anak. Kasih sayang orangtua atau pengasuh selama beberapa tahun pertama kehidupan merupakan kunci utama perkembangan sosial anak, meningkatkan kemungkinan anak memiliki kompetensi secara sosial dan penyesuaian diri yang baik pada tahun-tahun prasekolah dan sesudahnya.

 

Gender merupakan salah satu aspek penting yang mempengaruhi perkembangan sosial pada masa awal anak-anak. Istilah gender dimaksudkan sebagai tingkah laku dan sikap yang diasosiasikan dengan laki-laki atau perempuan. Sheperd-Look dalam Sinolungan (2001) mengemukakan bahwa kebanyakan anak mengalami sekurang-kurangnya tiga tahap dalam pekembangan gender. Pertama, anak mengembangkan kepercayaan tentang identitas gender, yaitu rasa laki-laki atau perempuan. Kedua, anak mengembangkan keistimewaan gender, sikap tentang jenis kelamin mana yang mereka kehendaki. Ketiga, mereka memperoleh ketetapan gender, sutu kepercayaan bahwa jenis kelamin seseorang ditentukan secara biologis, permanen, dan tak berubah-ubah.

 

    D.     Pengaruh Perkembangan Sosial terhadap Tingkah Laku Anak

Dalam perkembangan sosial anak, mereka dapat memikirkan dirinya dan orang lain. Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah kepenilaian diri dan kritik dari hasil pergaulannya dengan orang lain. Hasil pemikiran dirinya tidak akan diketahui oleh orang lain, bahkan sering ada yang menyembunyikannya atau  merahasiakannya.

Pikiran anak sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk kepada orang tuanya. Kemampuan abstraksi anak sering menimbulkan kemampuan mempersalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana yang semstinya menurut alam  pikirannya.

 

Disamping itu pengaruh egoisentris sering terlihat, diantaranya berupa :

1.      Cita-cita dan idealism yangbaik, terlalu menitik beratkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan akibat labih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.

2.      Kemampuan berfikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain daalm penilaiannya.

 

Melalui banyak pengalaman dan penghayatan  kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang lain, maka sikap ego semakin berkurang dan diakhir masa remaja sudah sangat kecil rasa egonya sehingga mereka dapat bergaul dengan baik. Keterampilan sosial anak merupakan cara anak dalam melakukan interaksi, baik dalam hal bertingkah laku maupun dalam hal berkomunikasi dengan orang lain. Kebanyakan anak merasa kesulitan dalam berinteraksi dengan teman, guru maupun orang yang baru dikenalnya. Anak akan baik perkembangan keterampilan sosialnya apabila pola asuhnya baik pula yang diberikan oleh orangtuanya. Namun kebanyakan para orang tua sering beranggapan bahwa keterampilan sosial anaknya tidaklah begitu penting untuk diperhatikan dalam kehidupannya. Karena si anak akan dapat belajar dengan sendirinya untuk berinteraksi secara baik dengan teman, saudara atau orang lain. Memasukkan anak kesekolah atau ke lembaga pendidikan sudah cukup untuk membentuk keterampilan sosial si anak. Dengan demikian tidaklah perlu lagi orangtua harus repot-repot untuk membentuk keterampilan sosial anaknya. Anggapan yang demikian sering terjadi para orangtua anak. Namun tanpa disadari oleh orangtua bahwa sekolah maupun lembaga pendidikan yang diberikan kepada anak belumlah tentu dapat membentuk perkembangan keterampilan sosialnya secara baik. Karena kebanyakan sekolah dan lembaga pendidikan tersebut lebih mengedepankan tujuanya bagaimana peserta didiknya menjadi pintar dan cerdas (kognitif) tanpa memperhatikan bagaimana perkembangan keterampilan sosial peserta didiknya. Oleh karena itu para orangtua sebaiknya tidak melepaskan tanggungjawabnya dalam hal membentuk perkembangan keterampilan sosial anaknya.

 

Dalam hal ini ada beberapa indikasi untuk melihat hambatan dalam perkembangan keterampilan sosial yang dimiliki oleh anak :

1. Anak lebih banyak diam dan tidak mau ikut serta dalam kegiatan bersama temannya.

2. Anak mudah merajuk dan merengek

3. Anak sering membuat orang lain atau temannya marah.

4. Sukar bergaul dan tidak disukai oleh orang lain atau temannya

5. Bertengkar dan suka mengganggu orang lain atau temannya.

6. Tidak mau menuruti kata yang disampaikan

7. Berusaha menarik perhatian orang lain.

8. Banyak menyerah dan sering mengikuti orang lain atau temannya.

9. Lebih suka bermain dengan orang yang lebih tua.

 

Jika beberpa indikasi ini terdapat pada perilaku anak, maka kecenderungan anak mengalami hambatan perkembangan sosialnya. Oleh sebab itu orang tua sebaiknya dapat memberikan dukungan dengan pola asuh yang baik dalam mendukung perkembangan sosial anaknya yang lebih baik.

Setelah kita melihat betapa pentingnya peranan keluarga dalam perkembangan sosial seorang anak, sekarang kita melihat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial seorang anak. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Status sosio-ekonomi.

Seorang anak yang dibesarkan dengan kondisi perekonomian yang cukup maka dia akan mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan diri. Dalam hal ini status sosial ekonomi sebuah keluarga bukanlah faktor mutlak dalam perkembangan sosial manusia. Namun paling tidak hal ini memberi sumbangan bagi perkembangan sosial seseorang. Bisa saja seorang anak dilahirkan ditengah-tengah keluarga yang berkecukupan namun tidak harmonis, tentunya hal ini tidak akan menguntungkan bagi perkembangan sosial seorang anak.

2. Keutuhan Keluarga.

Seperti telah diterangkan di atas, keluarga adalah kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak yang belum dewasa. Apabila salah satu dari unsur-unsur tersebut tidak ada, misal ada ibu namun tidak ada ayah (baik karena meninggal atau bercerai), maka keluarga tersebut tidak bisa dikatakan sebagai keluarga yang utuh lagi. Ini disebut keutuhan keluarga secara stuktur. Disamping itu ada pula keutuhan dalam interaksi, yaitu adanya interaksi sosial yang wajar (harmonis). Ketidakutuhan keluarga tentunya berpengaruh negative bagi perkembangan sosial seorang anak.

3. Sikap dan Kebiasaan Orang Tua.

Cara-cara dan sikap orang tua dalam pergaulannya memegang peranan yang cukup penting dalam perkembangan sosial seorang anak. Beberapa penelitian telah membuktikan hal ini dan didapati kesimpulan sebagai berikut: Makin otoriter orang tuanya, makin berkuurang ketidaktaatan, tetapi makin banyak timbul ciri-ciri pasivitas, kurangnya inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan berkurang dan penakut. Sebaliknya sikap demokratis dari orang tua menimbulkan cirri-ciri berinisiatif, tidak penakut, lebih giat dan lebih bertujuan, namun juga menimbulkan kemungkinan berkembangnya ketidaktaatan dan tidak mau menyesuaikan diri. Bila orang tua terlalu melindungi anak-anaknya maka akan timbul ketergantungan kepada orang tua. Bila orang tua mengembangkan sikap penolakan terhadap anaknya, maka akan timbul ciri-ciri agresivitas dan tingkah laku bermusuhan pada anak tersebut dan juga gejala-gejala menyeleweng seperti berdusta dan mencuri.

4. Status Anak.

Yang dimaksud sebagai status anak di sini ialah apakah dia anak tunggal, anak sulung atau bungsu di dalam keluarga. Seorang anak tunggal perkembangan sosialnya berbeda dengan yang bukan anak tunggal. Anak tunggal cenderung egosentris, mencari penghargaan secara berlebihan, memiliki keinginan untuk berkuasa secara berlebihan dan mudah sekali rendah diri. Kita melihat di sini corak negatif dalam perkembangan sosial seorang anak tunggal. Anak tunggal cenderung mengalami hambatan dalam perkembangan sosialnya, karena ia tidak terbiasa bergaul dalam kelompok kekeluargaan yang sangat ia perlukan.

Anak yang memiliki saudara lebih aktif dan berambisi dibanding anak tunggal yang pasif dan kurang mau berusaha. Hal ini didasarkan pada kenyataan ketika anak pertama memiliki perasaan dihargai dan diperhatikan orang tua yang lebih besar daripada anak yang kedua dan seterusnya. Anak yang berikutnya justru merasa harus lebih giat berjuang memperoleh penghargaan dan perhatian dari orang tuanya sebesar yang telah diterima oleh kakak pertama.

 

    E.  Pola Budaya dan Perilaku Sosial Anak

Pola budaya adalah refleksi warisan kolektif yang dipelihara suatu kelompok masyarakat berkebudayaan tertentu. Carl Gustave Jung dalam Sinolungan (2001) mengajukan das Kollective Unbewuszte atau kesadaran kolektif yang diwariskan nenek moyang turun temurun dari generasi ke generasi. Haeckel mengemukakan teori rekapitulasi, bahwa ontogenese dalah rekapitulasi dari phylogenese. Maksudnya perkembangan makhluk manusia pada suatu tahapan (ontogenese) adalah ulangan singkat (rekapitulasi) dari perkembangan jenis (phylogenese) sejak jaman purba.

Pandangan antropolog seperti Haeckel tak terlepas dari pengruh budaya kolektif zaman lampau yang suda terlupakan. Oleh Jung pengalaman kolektif itu tetap ada dalam ketaksadaran kolektif manusia yang mempengaruhi perilakunya. Hal itu terwujud pada pola perilaku warga masyarakatnya. Sebab itu agak mudah mengenali asal usul seseorang dari ungkapan budaya, seperti cara berbahasa, bersikap, berespons menghadapi sesuatu. Penelitian sejumlah antropolog pada banyak suku di dunia menunjuk adanya kesamaan pola perilaku sosial warga pendukung suatu kebudayaan.

 

 

 

 

 

 

BAB III

KOMENTAR PENULIS

 Perkembangan yang terjadi pada anak meliputi segala aspek kehidupan yang mereka jalani baik bersifat fisik maupun non fisik. Perkembangan sosial adalah perubahan dari keadaan penuh ketergantungan menuju kemandirian dalam suasana kedewasaan sosial yang bertanggung jawab. Kadar ketergantungan berkurang sejalan dengan perkembangan kemampuam berbagai aspek kepribadian. Ketergantungan sosial secara relatif berakhir waktu individu mampu mandiri dan berdikari dalam kedewasaannya.

Perkembangan sosial adalah perubahan dari keadaan penuh ketergantungan menuju kemandirian dalam suasana kedewasaan sosial yang bertanggung jawab. Kadar ketergantungan berkurang sejalan dengan perkembangan kemampuam berbagai aspek kepribadian. Ketergantungan sosial secara relatif berakhir waktu individu mampu mandiri dan berdikari dalam kedewasaannya.  Perkembangan sosial anak diawali dengan bermain secara paralel, di mana terlihat anak  bermain seolah-olah bermain dengan temannya namun ternyata asyik dengan permainannya sendiri. Dengan bertambahnya usia, anak sudah mampu mengikatkan diri bermain dengan anak lain dalam kelompok.

Permainan dapat meningkatkan perkembangan sosial anak. Khususnya dalam permainan fantasi dengan memerankan suatu peran, anak belajar memahami orang lain dan peran-peran yang akan ia mainkan di kemudian hari setelah tumbuh menjadi orang dewasa. Hubungan orangtua dan pengasuhnya merupakan dasar bagi perkembangan sosial anak. Kasih sayang orangtua atau pengasuh selama beberapa tahun pertama kehidupan merupakan kunci utama perkembangan sosial anak, meningkatkan kemungkinan anak memiliki kompetensi secara sosial dan penyesuaian diri yang baik pada tahun-tahun prasekolah dan sesudahnya. Oleh sebab itu orang tua sebaiknya dapat memberikan dukungan dengan pola asuh yang baik dalam mendukung perkembangan sosial anaknya yang lebih baik.

 

BAB IV

KESIMPULAN

 

Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.Perkembangan sosial individu dimulai sejak anak usia 18 bulan.

Faktor lingkungan keluarga merupakan faktor yang paling mempengaruhi perkembangan sosial anak, semakin bagus tata cara keluarga, maka perkembangan sosial anak juga semakin bagus.Perkembangan sosial juga sangat mempengaruhi kepribadian anak, anak yang mempunyai daya intelegensi yang tinggi, perkembangan sosial yang baik pada umumnya memiliki kepribadian yang baik.

Bentuk – Bentuk Tingkah  laku Sosial Anak yaitu Pembangkangan (Negativisme), Agresi (Agression), Berselisih (Bertengkar), Menggoda (Teasing), Persaingan (Rivaly), Tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior), Mementingkan diri sendiri (selffishness), Simpati (Sympaty).

Pola budaya adalah refleksi warisan kolektif yang dipelihara suatu kelompok masyarakat berkebudayaan tertentu. Carl Gustave Jung dalam Sinolungan (2001) mengajukan das Kollective Unbewuszte atau kesadaran kolektif yang diwariskan nenek moyang turun temurun dari generasi ke generasi. Haeckel mengemukakan teori rekapitulasi, bahwa ontogenese dalah rekapitulasi dari phylogenese. Maksudnya perkembangan makhluk manusia pada suatu tahapan (ontogenese) adalah ulangan singkat (rekapitulasi) dari perkembangan jenis (phylogenese) sejak jaman purba.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Cahyani Ani. Mubin, Psikologi perkembangan; cet I (Quantum Teaching, Ciputat Press Group, 2006).

Hurlock B Elizabeth, Developmental Psikologi; Mc Grow Hill, Inc, 1980, Alih Bahasa, Istiwidayanti dan suedjarwo, Psikologi Perkembangan suatu pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta, Erlangga, tt.

LN Yusuf Syamsu; Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Nurihsan Juntika, 2007, Buku Materi Pokok Perkembangan Peserta didik , Bandung; Sekolah Pasca Sarjana (UPI)

Santrock, John W, Life-Span Development, WM, C Brown Comunication, Inc, 1995, Alih bahasa Achmad Chusairi, S.PSI, Perkembangan Masa Hidup Jilid I, Jakarta, Erlangga, 2002.

Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan; (PT Raja Grafindo, : 2004).